FATWA JIHAD DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF



FATWA JIHAD
DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM
DAN HUKUM POSITIF



BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

 
Berbicara secara spesifik tentang perkembangan fatwa di Indonesia, maka fatwa tidak dapat dipisahkan dari sejarah keberadaan umat Islam sejak masa kolonial hingga saat ini, baik dalam kaitannya dengan fatwa-fatwa personal dari ulama-ulama lokal, mulai dari Sumatera, Jawa, Sulawesi hingga Kalimantan, dan internasional, mulai dari Pattani di Thailand hingga Mekkah di Saudi Arabia, maupun fatwa-fatwa institusional, seperti yang dikeluarkan oleh organisasi kemasyarakatan, antara lain: Muhammadiyah (dalam bentuk tarjih) yang berdiri sejak tahun 1912, mulai memberikan fatwa pada tahun 1927,[1] Nahdlatul Ulama, berdiri tahun 1926, yang telah mengeluarkan fatwa sejak masa-masa awal berdirinya,[2] al-Washliyah, berdiri tahun 1930, Majelis Ulama Indonesia,


[1] Sejak masa awal berdirinya, Muhammadiyah telah melakukan ijtihad kolektif (ijtihâd jamâ'i) yang diemban oleh suatu lembaga yang disebut dengan Majelis Tarjih. Awalnya lembaga ini hanya menangani masalah-masalah ibadah mahdah, dan sesuai namanya, tugas lembaga ini lebih mengarah kepada ijtihâd tarjîhi atau ijtihâd intiqâ'i. Namun dalam perkembangan selanjutnya, sejak tahun 1968, majelis ini telah melakukan ijtihad mengenai berbagai masalah fikih kontemporer, seperti masalah bunga bank, asuransi, keluarga berencana, dan lain lain. Dalam beberapa masalah ini, sifat ijtihadnya sudah mengarah kepada ijtihâd ibtidâ'i atau ijtihâd insyâ'i, namun tetap berpegang pada rumusan kaedah-kaedah usul fikih yang telah dirumuskan oleh para ulama terdahulu, seperti seorang mujtahid harus mengetahui tujuan-tujuan filosfis syariat Islam (maqâsid al-syarî'at). Dari hasil ijtihad yang dilakukan oleh lembaga ini kemudian melahirkan fatwa-fatwa tarjih Muhammadiyah. Lebih jauh lihat Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihâd Majelis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta: Logos, 1995), h. 53. Buku ini secara garis besarnya berbicara tentang cara-cara Majelis Tarjih menganalisis dalil-dalil yang dijadikan dasar pengambilan keputusan, konsistensi Majelis Tarjih dalam menetapkan metode ijtihad, dan keterkaitan Majelis Tarjih dengan mazhab tertentu dalam berijtihad.
[2] Nahdhatul Ulama (NU) merupakan sebuah jam'iyyah diniyyah Islamiyyah (organisasi keagamaan Islam) yang didirikan di Surabaya pada 16 Rajab 1344H/13 Januari 1926M, berakidah Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jama'ah dan menganut salah satu mazhab yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali. Organisasi ini telah melakukan ijtihad sejak awal berdirinya dalam menjawab berbagai persoalan ibadah dan sosial kemasyarakatan, dan dalam melakukan ijtihadnya, NU tetap berpegang pada metodologi usul fikih yang telah dirumuskan para ulama usul fikih (uşûliyyûn). Lebih jauh tentang metodologi ijtihad dan fatwa NU, lihat Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU (Yogyakarta: LKiS, 2004). Buku ini berbicara tentang tiga subjek krusial berkaitan dengan metodologi penyelesaian masalah fiqhiyyah (problem fikih) yang dilakukan oleh lembaga Lajnah Bahśul Masâil Nahdhatul Ulama, yaitu melakukan rekonstruksi metodologis terhadap al-kutub al-mu'tabarah (kitab-kitab yang diakui) sebagai rujukan dalam menetapkan suatu keputusan hukum fikih, metode yang digunakan, dan validitas keputusan hukum fikih yang dihasilkan oleh Lajnah Bahśul Masâ'il.

untuk membaca buku secara lengkap silahkan klik link berikut ini https://drive.google.com/file/d/14RqU1PnGtHf7cSCpxNYA38NMQjrgyvUP/view?usp=sharing

Jurnal KONSEP MANUSIA DALAM ISLAM


KONSEP MANUSIA DALAM ISLAM
Studi terhadap Eksistensi Manusia

Oleh: Budi Abdullah, S.Ag, M.H[1]
Abstraks
Manusia merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki derajat paling tinggi di antara ciptaan yang lain. Pada dasarnya manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan kedudukan sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.Manusia sebagai makhluk individu mempunyai sifat-sifat individu khas yang berbeda dengan manusia lainnya.  Manusia berbeda dengan manusia lainnya. Manusia sebagai individu bersifat nyata, yaitu mereka berupaya untuk selalu merealisasikan kepentingan, kebutuhan, dan potensi pribadi yang dimilikinya. Hal tersebut akan terus menerus berkembang menyesuaikan dengan perkembangan kehidupan yang dialaminya dan pertumbuhan yang ada pada dirinya.  Setiap manusia senantiasa akan berusaha mengembangkan kemampuan pribadinya guna memenuhi berbagai kebutuhan dan mempertahankan hidupnya.
Kata kunci: Manusia, Islam dan Konsep.

A.      Pendahuluan
Allah SWT sebagai pencipta telah menciptakan langit dan bumi, dan segala sesuatu yang ada di antara keduanya. Salah satu ciptaan Allah itu adalah manusia, yang diberi keistimewaan berupa kemampuan berpikir yang melebihi jenis makhluk lain yang sama-sama menjadi penghuni bumi. Kemampuan berpikir itulah yang diperintahkan Allah agar dipergunakan untuk mendalami wujud atau hakikat dirinya dan tidak semata-mata dipegunakan untuk memikirkan segala sesuatu di luar dirinya.
Demikianlah kenyataannya bahwa manusia tidak pernah berhenti berpikir, kecuali dalam keadaan tidur atau sedang berada dalam situasi diluar kesadaran. Manusia berpikir tentang segala sesuatu yang tampak atau dapat ditangkap oleh pancaindera bahkan yang abstrak sekalipun. Dari sejarah kehidupan manusia ternyata tidak sedikit usaha manusia dalam memikirkan wujud atau hakikat dirinya, meskipun sebenarnya masih lebih banyak yang tidak menaruh perhatian


[1] Dosen Tetap Program Studi Perbankan Syariah STAI Syekh H. Abdul Halim Hasan Al Ishlahiyah Binjai

untuk membaca jurnal ini secara lengkap klik pada tautan dibawah ini;